11 November 2009

Menumbuhkan Rasa Percaya Diri Menghadapi Atasan

1. Kenali terlebih dahulu sumber rasa tidak percaya diri Anda. Apakah sumber masalahnya karena ketidak-PD-an atas penampilan fisik, atau keberadaan posisi Anda yang notabene lebih rendah (misalnya Anda merasa tidak setara dan merasa kurang berharga), atau karena ketidaktahuan Anda atas topik yang akan dibahas di hadapan atasan.

2. Buatlah daftar sumber ketidak-PD-an Anda karena setiap sumber akan berbeda cara penanganannya. Cara ini dipandang dapat membantu Anda membaca peta permasalahannya dan menemukan langkah penyelesaian. Harus dipahami bahwa setiap orang yang "paling percaya diri di dunia sekali pun" memiliki ketidak-PD- annya masing-masing. Jadi itu persoalan yang umumnya dihadapi setiap manusia.

3. Jangan berpikir bahwa Anda lebih buruk dibanding orang lain yang Anda temui dan sebaliknya jangan juga berpikir bahwa orang lain lebih baik dari diri Anda. Setiap orang mempunyai "value" masing-masing yang unik dan khas. Tidak seorang pun dilahirkan dalam keadaan sempurna meski itu atasan kita. Temukan potensi terbaik dan khusus Anda. Dalam hal ini, Anda sendirilah yang menjadi navigator dari potensi-potensi terbaik Anda. Temukanlah!

4. Berbicaralah dengan orang-orang yang ada di dalam meeting tanpa rasa ragu dan anggap saja mereka juga ingin mendengarkan pendapat (masukan) Anda. Semuanya harus Anda sikapi sebagai bagian dari belajar. Untuk membantu kesiapan dalam meeting, maka Anda harus tahu dan mempersiapkan diri mengenai topik dan materi yang akan dibicarakan. Kadang orang menjadi tidak PD karena tidak menguasai topiknya.

5. Untuk membantu menumbuhkan rasa percaya diri, identifikasikan kisah-kisah sukses yang pernah Anda raih selama bekerja. Setiap orang punya kisah suksesnya masing-masing yang memberikan keyakinan tertentu. Beri ruang pada diri Anda untuk merasa bangga dengan hal itu, meski itu cerita kecil. Ekspresikan kebanggaan itu. Bersyukurlah dengan kesuksesan yang pernah diraih. "Success breeds success" dan hal ini akan membangun kepercayaan diri baru dan motivasi baru bagi Anda.

6. Di dalam keterlibatan pada setiap meeting, biasakan diri Anda memahami peta masalahnya dari berbagai sudut pandang. Pahami cara berpikir para atasan yang memiliki perspektif strategis. Anda sendiri harus berpikir pada "desired outcome" dari setiap materi pembicaraan dan sejauh mana Anda bisa berperan dalam kesuksesan materi yang dibicarakan.

7. Berpikir positif dan jangan membiarkan lingkungan luar menurunkan harga diri Anda karena Andalah yang memegang kendali atas potensi-potensi Anda ke depan. Berpikir, bertindak dan berbicaralah secara positif dengan siapa saja yang ada di dalam meeting. Jika kata-kata kita dalam meeting dipandang salah oleh atasan/manajemen, anggap saja itu sebagai bagian dari pembelajaran.

8. Selalu belajar "tersenyum" dan Anda bisa berlatih sendiri di depan kaca. Ini mengikuti filosofi "facial feedback theory". Melihat diri Anda tersenyum di kaca akan membantu otak untuk menginstruksikan sejumlah emosi positif dan membantu Anda tampil charming, bahagia dengan diri Anda dan pada gilirannya memfasilitasi pembentukan speaking skill Anda dalam berbagai meeting di perusahaan.

(dikutip dari Portal HR)

29 Oktober 2008

Demam Buy Back

PASAR modal Tanah Air tengah dilanda demam. Namanya demam buy back. Ini merupakan demam yang membuat emiten atau perusahaan publik berhasrat membeli kembali (buy back) sahamnya karena harganya sudah murah.

Kondisi pasar yang tengah memburuk memang membuka peluang bagi perusahaan untuk membeli kembali sahamnya. Bagaimana tidak, harga saham mereka kini jauh di bawah valuasi wajar. Jadi, inilah kesempatan untuk mengakumulasi lagi saham-saham yang dulu dijual ke publik, tentunya dengan harga obral.

Bayangkan saja, saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI), yang sebelumnya merupakan investor darling dan menjadi penentu arah pasar, sekarang dapat dibeli di bawah Rp2.200. Bandingkan dengan harga tertingginya pada medio Juni, yang berada di atas Rp8.000.

Tak jauh berbeda, saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) kini dijual banting harga di kisaran Rp1.000 bahkan sempat Rp900. Investor juga bisa mendapatkan saham PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dengan diskon 80 persen. Edan.

Benar bahwa koreksi pada saham-saham tersebut dipengaruhi sentimen yang berdampak pada ekspektasi kinerja perusahaan. BUMI misalnya, yang tertekan setelah harga batu bara belakangan ini terus turun. Atau ADHI, yang mulai dijauhi investor karena ketidakjelasan proyek monorel.

Namun, dalam keadaan normal, faktor-faktor itu tidak akan membuat harga saham terkoreksi hingga lebih dari 50 persen. Kejatuhan drastis saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) disebabkan kepanikan di luar nalar seperti halnya terjadi di bursa global.

Sebuah risiko yang tidak bisa dianalisa melalui pendekatan fundamental maupun teknikal. Nah, karena yang lebih berperan adalah faktor psikologis, pemerintah bersama otoritas kemudian mengambil langkah-langkah yang kira-kira bisa menenangkan dan mengembalikan kepercayaan pasar.

Di antaranya seruan kepada emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan buy back. Dengan aksi ini, saham-saham emiten pelat merah diharapkan bisa naik dan memancing investor untuk masuk lagi ke pasar .

Seruan ini ditindaklanjuti Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dengan menerbitkan Peraturan Bapepam-LK No XI.B.3 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan Emiten atau Perusahaan Publik dalam Kondisi Pasar yang Berpotensi Krisis.

Peraturan yang bersifat insidental ini memberi sejumlah kelonggaran, terutama batas pembelian kembali saham yang dinaikkan menjadi 20 persen serta tidak perlu meminta persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS).

Dari sinilah kemudian merebak demam buy back. Sebab, sang regulator menegaskan bahwa peraturan tersebut berlaku bagi semua perusahaan yang tercatat di bursa, tidak hanya emiten BUMN. Alhasil, emiten berduyun-duyun mengajukan permohonan buy back, termasuk yang sebelumnya tidak punya agenda membeli kembali sahamnya.

Pembelian kembali saham pada dasarnya adalah aksi korporasi yang wajar. Langkah buy back dilakukan biasanya dengan pertimbangan memberi nilai tambah bagi perusahaan dan pemegang saham. Bagi perusahaan, saham yang dibeli bisa ditempatkan sebagai cadangan (treasury stock).

Jika perusahaan sewaktu-waktu membutuhkan dana, treasury stock ini bisa dijual dengan harga yang tidak boleh lebih rendah dari harga buy back. Sementara bagi pemegang saham, buy back secara teknis membuat laba per saham naik sehingga kemungkinan dividen per saham ikut naik.

Dalam kondisi normal, perusahaan yang berniat melakukan buy back harus menggelar RUPS. Dalam rapat tersebut, pemegang saham akan menentukan boleh tidaknya buy back dilaksanakan. Seandainya disetujui, berapa banyak saham yang akan dibeli kembali, bagaimana pendanaannya, berapa lama jangka waktu, dan siapa broker pelaksananya.

Intinya, perusahaan yang berniat buy back harus melalui beberapa proses yang memakan waktu sekitar dua hingga tiga bulan. Dan, masih ada peluang rencana buy back tidak disetujui karena pemegang saham menilai perusahaan tidak memiliki dana atau dengan alasan lain.

Karena itu, terbitnya aturan insidental mengenai buy back pada kondisi krisis langsung disambut antusias. Ya, emiten tidak perlu meminta persetujuan RUPS, cukup dengan melakukan paparan publik. Aturan tersebut memang memberi kemudahan dan efektif.

Namun, aturan ini menyisakan celah yang bisa disalahgunakan. Idealnya, buy back dilakukan jika perusahaan memang memiliki kas internal berlebih, sehingga tidak mengganggu keuangan dan rencana bisnis. Namun, dengan adanya kemudahan aturan, prinsip tersebut berpeluang dilanggar.

Tanpa persetujuan pemegang saham, bisa saja sebuah perusahaan mencari pinjaman untuk mendanai buy back karena terbayang keuntungan di masa depan. DPR sendiri baru saja menyetujui rencana pengalokasian dana Rp4 triliun yang selama ini dikelola Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk membeli kembali saham-saham emiten BUMN.

Selain dipakai PIP, dana ini dapat dipinjamkan kepada BUMN yang tidak punya uang untuk membeli kembali sahamnya. Dengan adanya fasilitas ini,siapa yang tidak tergiur untuk melakukan buy back? Di luar BUMN, emiten swasta juga ada yang berniat melakukan buy back menggunakan utang.

Bursa Efek Indonesia (BEI) menegaskan bahwa buy back tidak boleh menggunakan dana pinjaman. Namun, ini menjadi polemik karena menurut Bapepam, dari segi regulasi, tidak ada pasal yang mengatur boleh tidaknya buy back didanai oleh utang.

Terlepas dari masalah regulasi, alangkah baiknya jika buyback dilakukan tanpa memaksakan diri. Mengutip anjuran Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, jangan sampai buy back justru mengganggu solvabilitas. Jika ini terjadi, bisa-bisa perusahaan tersebut sungguh-sungguh demam dan menularkannya kepada pemegang saham.

(dikutip dari okezone.com)

06 September 2008

PERJUANGAN BELUM BERAKHIR KAWAN…


12 Mei 1998 telah menjadi hari yang paling bersejarah dalam hidup saya, ya menjadi sejarah bagi saya karena pada hari itu tepatnya pukul 08.00 WIB, saya beserta teman – teman saya di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti berkumpul di lobby gedung S Fakultas Ekonomi untuk bergabung bersama teman – teman kami yang lain dari seluruh fakultas yang ada di kampus A Trisakti di tengah – tengah parkiran Kampus yang biasa kita sebut “Jungle”, dengan maksud dan tujuan hanya satu yaitu melakukan demonstrasi menuntut “ Turunkan Harga Sembako, Tolak KKN dan Segera Lakukan Reformasi”.

Seperti yang kita ketahui pada tanggal 12 Mei 1998 tepatnya pukul 17.00 WIB telah terjadi pembantaian terhadap kami yang dilakukan oleh oknum Aparatur Negara yang mengakibatkan gugurnya empat rekan seperjuangan kami diterjang oleh peluru oknum aparat dan kejadian sore itu menjadi penyulut terjadinya kerusuhan terbesar, terbiadab yang sangat mengerikan bagi Negara kita ini.

Tidak terasa kejadian kelam itu telah berlalu selama 10 tahun tanpa ada penyelesaian hukum yang pasti bahkan terkesan tragedi ini hanya menjadi konsumsi politik bagi para aktor dan aktris di “ bilangan Senayan”.
Sebagai salah satu pelaku sejarah pada waktu itu terus terang saya merasa sedih, marah dan kecewa melihat kondisi ini, ternyata di negara ini sangat susah sekali untuk menuntut keadilan yang memang seharusnya telah menjadi hak kita sebagai warga negara (sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila).
Bagi saya perjuangan ini belum berakhir dan saya akan terus berjuang sesuai dengan apa yang kami perjuangkan pada tanggal 12 Mei 1998, seperti Bung Karno katakan “Ini Dadaku, Mana Dadamu?!?...”, maka saya fikir apa yang telah kami perjuangkan maka kami pulalah yang harus membangunnya. Dan sekarang ini saya rasa sudah waktunya kita semua para pelaku sejarah 1998 untuk membangun negara ini menjadi negara yang kita idamkan yaitu negara yang adil dan makmur. 
(Didedikasikan untuk kawanku Almarhum Hafidien Royan)






 


14 Agustus 2008

HRD Harus Mampu Lahirkan Orang-orang Ber-Added Value Tinggi

Banyak orang pintar di negeri ini, tapi tidak banyak orang yang kreatif. Padahal, hanya orang-orang dengan kreativitas yang tinggilah yang mampu memberikan nilai tambah bagi bagi upaya-upaya untuk memajukan perusahaan, organisasi dan negara.
Demikian diungkapkan oleh Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil di VIP Keynote The Asia HRD Congress 2008 di Jakarta Convention Center, Rabu (23/7/08). Menurut Meneg BUMN, minimnya kreativitas memustahilkan added value. "Kreativitas harus terus ditumbuhkan untuk meningkatkan added value.
Di sinilah peran HRD, meng-create orang-orang yang kreatif sehingga memiliki added value yang tinggi," papar Sofyan Djalil. "Being smart alone is not enough," ujar dia. "Kita perlu orang-orang kreatif untuk mengisi kursi-kursi kepemimpinan baik dalam perusahaan maupun organisasi pemerintahan. Added value harus diberikan dari hari ke hari, dan itu hanya bisa lahir dari kreativitas.
"Kongres dibuka oleh Wakil Presiden Yusuf Kalla yang dalam pidato singkatnya menekankan kembali pentingnya faktor manusia di balik kemajuan sebuah bangsa. The Asia HRD Congress 2008 merupakan gelaran bersama SMR Group Malaysia dengan PPM Manajemen Indonesia, dan berlangsung hingga Kamis (24/7/08).
Lingkungan yang Bebas
Sofyan Djalil memaparkan, orang-orang kreatif lahir dari lingkungan yang bebas. Oleh karenanya, menurut dia, penting artinya untuk memberi lingkungan yang bebas bagi kembang tumbuh individu sejak kanak-kanak. Dalam hal ini, Sofyan menekankan pentingnya sistem pendidikan yang mendukung.
Berdasarkan pengalamannya selama setahun sebagai Meneg BUMN, Sofyan melihat bahwa lingkungan yang membelenggu kreativitas itu ada di berbagai perusahaan milik negara. "Banyak orang di BUMN yang kreatif tapi terbelenggu oleh peraturan," ungkap dia.
Sofyan memberi contoh aktual apa yang terjadi di PT Pos Indonesia baru-baru ini, di mana direktur utamanya ditangkap dengan tuduhan melakukan tindak pidana korupsi. "Ada praktik-praktik yang di perusahaan swasta dianggap normal, tapi di BUMN menjadi suatu pelanggaran," ujar dia.
Proses menemukan orang-orang kreatif yang mampu memberikan added value bagi organisasi, tandas Sofyan, dimulai dari tahap rekrutmen. "Selain soal kreativitas, kita juga perlu pastikan kompetensi dari kandidat," tambah dia.
Diingatkan, dalam konteks situasi bisnis sekarang ini, menemukan SDM dengan kompetensi teknik yang memadai barangkali bukanlah hal yang sulit. "Namun, kita juga memerlukan orang-orang dengan kompetensi finansial dan keterampilan manajerial yang tinggi," jelas dia.

Orang HR Harus Jeli Melihat Karyawan yang "Tampil Beda"

Kalau Anda punya karyawan yang "aneh", selalu memiliki pandangan yang berbeda dari orang kebanyakan, jangan buru-buru menghakimi mereka dengan label-label yang buruk. Siapa tahu, orang-orang seperti itu justru menyimpan potensi untuk menjadi calon pemimpin masa depan.
"Para pemimpin selalu berbeda dalam berpikir dan bertindak," ujar Paulus Bambang WS dalam acara Good Morning Partner Offline Second Gathering di Hotel Intercontinental Midplaza, Jakarta, Rabu (6/8/08). Ini merupakan forum dua bulanan untuk praktisi dan insan HR yang digelar oleh PortalHR.com.
Untuk penyelenggaraan yang kedua kalinya ini, Paulus Bambang sebagai narasumber utama mengangkat tema HR Challenges: Preparing the Better CEO Candidates.
Menurut Vice President Director Marketing & Operation PT United Tractors tersebut, tidak semua orang bisa menjadi pemimpin. "Seorang pemimpin selalu berbeda dengan orang kebanyakan," tegas dia. Ditambahkan, mereka bukan sekedar pintar atau lebih pintar dari yang lain, melainkan memiliki pemikiran yang berbeda.
"Untuk menemukan orang-orang seperti itu, HR jangan hanya duduk di depan komputer terus. Harus turun, melihat-lihat dan di sinilah pentingnya orang HR untuk memiliki kekuatan observasi," papar penulis buku laris Built to Bless itu.
Lebih jauh Paulus mengingatkan, dalam proses mempersiapkan pemimpin-pemimpin bisnis masa depan, HR sebagai fasilitator perlu mengantisipasi tantangan-tantangan yang ada, dan melakukan pendekatan yang sistematis.
"Jangan pernah berpikir untuk menemukan seorang superman. Setiap talent memiliki kekuatan dan kelemahan, dan kemampuan kepemimpinan merupakan sesuatu yang dikembangkan melalui pengalaman," tandas dia.
Dikatakan, dalam proses mempersiapkan pemimpin, sebuah perusahaan bisa mencari rujukan dari praktik-praktik yang telah terbukti sukses dilakukan oleh perusahaan lain. Namun, tetap harus diingat bahwa setiap perusahaan memiliki budaya yang berbeda-beda. "Pertama, orang HR harus tahu dulu pemimpin seperti apa yang dicari. Kedua, pahami apa kebutuhan bisnis saat ini. Setelah itu, dicari keselarasan antara keduanya, " jelas dia.
Selain menampilkan Paulus Bambang sebagai narasumber tetap, Good Morning Partner kali ini mengundang Direktur HR PT HM Sampoerna Lucia Nani untuk sharing. Lucia memaparkan pengalaman Sampoerna dalam melakukan transformasi struktur dan sistem dalam organisasi pasca akuisisi oleh Philip Morris.

Kenali Sumber-sumber Kegagalan Manajemen SDM

Jika Anda berkedudukan sebagai manajer yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan karyawan, sudahkah Anda memastikan bahwa Anda telah memberikan nilai tambah bagi organisasi. Dan, bukannya justru menciptakan iklim-iklim kerja yang negatif, yang membuat karyawan gampang marah dan putus asa.
Lembaga konsultansi terkenal Hay Group, dalam survei terbarunya di Inggris menemukan indikasi bahwa seperlima karyawan merasa frustrasi dengan pekerjaan mereka karena birokrasi yang rumit, struktur manajemen yang buruk, serta sistem-sistem yang menghambar inovasi dan produktivitas.
Di atas semua itu, ditemukan, lebih dari separo perusahaan gagal mengatasi secara efektif masalah yang berkaitan dengan rendahnya kinerja karyawan.
Hasil studi yang dilakukan Hay tersebut mengajak segenap manajemen perusahaan mengenali sumber-sumber kegagalan dalam mengelola kekaryawanan. Selain ruwetnya struktur-struktur, proses dan prosedur yang ada lebih sering justru menghambat inisiatif-inisiatif karyawan.
Struktur, proses dan prosedur yang diterapkan di perusahaan selama ini juga dinilai menghambar pemecahan berbagai masalah.
Separo karyawan merasa tidak memiliki otoritas untuk mengambil keputusan penting berkaitan dengan pekerjaan mereka. Di samping itu, dengan proporsi yang sama, karyawan juga mengeluhkan minimnya kesempatan untuk berpartisipasi dalam keputusan-keputusan yang berdampak langsung pada pekerjaan mereka.
Hay juga melihat, para manajer kini gagal dalam menciptakan desaign job yang mampu mengkapitalisasi para talent terhadap pekerjaan mereka.
Direktur Regional pada Divisi Survei Karyawan Hay Group Ben Hubbard mengatakan, "Fenomena keputusasaan karyawan menimbulkan risiko bisnis yang besar.
"Dengan kompetisi yang sengit di antara karyawan-karyawan terbaik, upaya perusahaan untuk meng-engage mereka akan sia-sia jika tidak didukung dengan penciptaan lingkungan yang supportive dan terbuka," tambah dia.
Hubbard menyerukan kepada para pemimpin bisnis agar memastikan bahwa peraturan, program-program pengembangan dan struktur-struktur pendukung lainnya dirancang dalam satu kesatuan untuk mempertahankan "the right people in the right roles at the right time."
Diingatkan, iklim kerja maupun pengalaman karyawan di tempat kerja sangat tergantung pada bagaimana cara mereka dipimpin dan dikelola. "Di sinilah, lebih dari separo manajer senior gagal meng-generate iklim kinerja-tinggi," kata dia.
Hubbard menyarankan, para manajer sebaiknya memangkas hambatan-hambatan prosedural dan birokrasi yang tidak perlu. Untuk, kemudian menggantikannya dengan tools, teknologi, informasi, support dan sumber-sumber daya lainnya yang dibutuhkan oleh karyawan untuk bisa bekerja dengan efektif.
(dikutip dari berbagai sumber)

Bukan Jargon, Tapi Alat Ukurnya yang Penting

Orang HR memang paling jago bikin jargon. Ups, maaf, ini bukan sinisme. Sebab ternyata, para manajer --kalangan yang akrab dengan jargon-jargon bisnis-- pun banyak yang belum begitu paham dengan, misalnya, istilah seperti "human capital".
Sebuah survei yang dilakukan oleh Institute for Employment Studies (IES) di Inggris menemukan bahwa banyak istilah yang kurang dipahami di tempat kerja, dengan banyak manajer merasa "gamang" dengan terma-terma semisal "people measures", "workforce intelligence" atau bahkan "key people indicators".
Riset melibatkan 14 perusahaan papan atas baik swasta maupun pemerintah, termasuk Royal Bank of Scotland, BBC dan NHS."Setiap organisasi berbeda dalam cara mereka mengindetifikasi, menggunakan dan mempraktikkan pengukuran-pengukuran dan apa yang terpenting dalam satu konteks mungkin kurang relevan bagi yang lain," demikian survei menyimpulkan.
Dengan kata lain, yang terpenting bukanlah istilah-istilah keren tersebut, melainkan bagaimana sebuah cara atau alat ukur bisa efektif diterapkan dalam sebuah organisasi, sesuai dengan karakter dan kebutuhannya.
Anggota tim peneliti pada IES Dilys Robinson mengatakan, "Mengukur nilai karyawan ke dalam bisnis memang rumit tapi itu vital untuk memonitor kesehatan organisasi.""HR memainkan peran penting untuk menciptakan keterkaitan antara hal-hal seperti employee engagement, turnover dan vacancy rates dengan kepuasan customer dan pengukuran pengaruhnya," tambah dia.
Diakui, semua itu memang tampaknya sulit. Namun, Robinson menegaskan, dengan perencanaan yang benar dan kerjasama yang baik dengan manajemen, mengukur orang sangat berarti untuk mengawasi kesehatan bisnis.
(dikutip dari berbagai sumber)