29 Oktober 2008

Demam Buy Back

PASAR modal Tanah Air tengah dilanda demam. Namanya demam buy back. Ini merupakan demam yang membuat emiten atau perusahaan publik berhasrat membeli kembali (buy back) sahamnya karena harganya sudah murah.

Kondisi pasar yang tengah memburuk memang membuka peluang bagi perusahaan untuk membeli kembali sahamnya. Bagaimana tidak, harga saham mereka kini jauh di bawah valuasi wajar. Jadi, inilah kesempatan untuk mengakumulasi lagi saham-saham yang dulu dijual ke publik, tentunya dengan harga obral.

Bayangkan saja, saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI), yang sebelumnya merupakan investor darling dan menjadi penentu arah pasar, sekarang dapat dibeli di bawah Rp2.200. Bandingkan dengan harga tertingginya pada medio Juni, yang berada di atas Rp8.000.

Tak jauh berbeda, saham PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) kini dijual banting harga di kisaran Rp1.000 bahkan sempat Rp900. Investor juga bisa mendapatkan saham PT Adhi Karya Tbk (ADHI) dengan diskon 80 persen. Edan.

Benar bahwa koreksi pada saham-saham tersebut dipengaruhi sentimen yang berdampak pada ekspektasi kinerja perusahaan. BUMI misalnya, yang tertekan setelah harga batu bara belakangan ini terus turun. Atau ADHI, yang mulai dijauhi investor karena ketidakjelasan proyek monorel.

Namun, dalam keadaan normal, faktor-faktor itu tidak akan membuat harga saham terkoreksi hingga lebih dari 50 persen. Kejatuhan drastis saham-saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) disebabkan kepanikan di luar nalar seperti halnya terjadi di bursa global.

Sebuah risiko yang tidak bisa dianalisa melalui pendekatan fundamental maupun teknikal. Nah, karena yang lebih berperan adalah faktor psikologis, pemerintah bersama otoritas kemudian mengambil langkah-langkah yang kira-kira bisa menenangkan dan mengembalikan kepercayaan pasar.

Di antaranya seruan kepada emiten Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk melakukan buy back. Dengan aksi ini, saham-saham emiten pelat merah diharapkan bisa naik dan memancing investor untuk masuk lagi ke pasar .

Seruan ini ditindaklanjuti Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dengan menerbitkan Peraturan Bapepam-LK No XI.B.3 tentang Pembelian Kembali Saham yang Dikeluarkan Emiten atau Perusahaan Publik dalam Kondisi Pasar yang Berpotensi Krisis.

Peraturan yang bersifat insidental ini memberi sejumlah kelonggaran, terutama batas pembelian kembali saham yang dinaikkan menjadi 20 persen serta tidak perlu meminta persetujuan rapat umum pemegang saham (RUPS).

Dari sinilah kemudian merebak demam buy back. Sebab, sang regulator menegaskan bahwa peraturan tersebut berlaku bagi semua perusahaan yang tercatat di bursa, tidak hanya emiten BUMN. Alhasil, emiten berduyun-duyun mengajukan permohonan buy back, termasuk yang sebelumnya tidak punya agenda membeli kembali sahamnya.

Pembelian kembali saham pada dasarnya adalah aksi korporasi yang wajar. Langkah buy back dilakukan biasanya dengan pertimbangan memberi nilai tambah bagi perusahaan dan pemegang saham. Bagi perusahaan, saham yang dibeli bisa ditempatkan sebagai cadangan (treasury stock).

Jika perusahaan sewaktu-waktu membutuhkan dana, treasury stock ini bisa dijual dengan harga yang tidak boleh lebih rendah dari harga buy back. Sementara bagi pemegang saham, buy back secara teknis membuat laba per saham naik sehingga kemungkinan dividen per saham ikut naik.

Dalam kondisi normal, perusahaan yang berniat melakukan buy back harus menggelar RUPS. Dalam rapat tersebut, pemegang saham akan menentukan boleh tidaknya buy back dilaksanakan. Seandainya disetujui, berapa banyak saham yang akan dibeli kembali, bagaimana pendanaannya, berapa lama jangka waktu, dan siapa broker pelaksananya.

Intinya, perusahaan yang berniat buy back harus melalui beberapa proses yang memakan waktu sekitar dua hingga tiga bulan. Dan, masih ada peluang rencana buy back tidak disetujui karena pemegang saham menilai perusahaan tidak memiliki dana atau dengan alasan lain.

Karena itu, terbitnya aturan insidental mengenai buy back pada kondisi krisis langsung disambut antusias. Ya, emiten tidak perlu meminta persetujuan RUPS, cukup dengan melakukan paparan publik. Aturan tersebut memang memberi kemudahan dan efektif.

Namun, aturan ini menyisakan celah yang bisa disalahgunakan. Idealnya, buy back dilakukan jika perusahaan memang memiliki kas internal berlebih, sehingga tidak mengganggu keuangan dan rencana bisnis. Namun, dengan adanya kemudahan aturan, prinsip tersebut berpeluang dilanggar.

Tanpa persetujuan pemegang saham, bisa saja sebuah perusahaan mencari pinjaman untuk mendanai buy back karena terbayang keuntungan di masa depan. DPR sendiri baru saja menyetujui rencana pengalokasian dana Rp4 triliun yang selama ini dikelola Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk membeli kembali saham-saham emiten BUMN.

Selain dipakai PIP, dana ini dapat dipinjamkan kepada BUMN yang tidak punya uang untuk membeli kembali sahamnya. Dengan adanya fasilitas ini,siapa yang tidak tergiur untuk melakukan buy back? Di luar BUMN, emiten swasta juga ada yang berniat melakukan buy back menggunakan utang.

Bursa Efek Indonesia (BEI) menegaskan bahwa buy back tidak boleh menggunakan dana pinjaman. Namun, ini menjadi polemik karena menurut Bapepam, dari segi regulasi, tidak ada pasal yang mengatur boleh tidaknya buy back didanai oleh utang.

Terlepas dari masalah regulasi, alangkah baiknya jika buyback dilakukan tanpa memaksakan diri. Mengutip anjuran Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, jangan sampai buy back justru mengganggu solvabilitas. Jika ini terjadi, bisa-bisa perusahaan tersebut sungguh-sungguh demam dan menularkannya kepada pemegang saham.

(dikutip dari okezone.com)

2 komentar:

UtakAtikKataku mengatakan...

kalo mau dapetin daftar perusahaan 2yg melakukan buyback lewat internet,dimana ya?aq cb di idx,gak ada..
makasi..

Jenggot mengatakan...

coba aja di ihedge.wordpress.com